RNCelebes.web.id, Makassar - Aksi damai Unjuk rasa (Unras) gabungan dari sejumlah organisasi buruh dan mahasiswa sebagai bentuk tuntutan atas perlindungan hak hukum pekerja dan melarang praktek kerja paksa serta perbudakan modern di industri simelter.
Unjuk rasa (Unras) yang digelar dari gabungan Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Kiba Bantaeng, Komunitas Solidaritas Buruh dan mahasiswa di depan Kantor Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Selasa 30/9/2025.
Dalam aksi orasinya Cibal selaku Koordinator lapangan (Korlap) Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Kiba Bantaeng menuntut atas hak para pekerja kepada pihak manajemen PT Huadi Nikel Alloy Indonesia (HNI) di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) Sulawesi Selatan. Dimana hak pekerja (buruh) secara normatif telah dilanggar oleh pihak manajemen, sehingga sampai saat ini hak upah buruh belum juga dibayarkan.
Cibal juga menegaskan kepada manajemen perusahaan PT Huadi Nikel Alloy Indonesia (HNI) di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) Sulawesi Selatan untuk tidak mengabaikan PP Nomor 35 tahun 2021 dan segera mungkin membayarkan hak-hak upah para pekerja (buruh) yang telah bekerja.
Bermula dari hubungan kerja antara 20 orang buruh PT Huadi Nikel Alloy Indonesia (HNI) di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) Sulawesi Selatan. Sejak tahun 2021 sampai dengan 2022, pemutusan hubungan kerja pada Maret 2025, sehingga para buruh ditempatkan pada unit produksi beresiko tinggi furnamens rotary, clean conveyor, dump truck dan sebagainya.
Perusahaan menerapkan sistem shift 12 jam per hari tanpa jam istirahat pukul 07.30 - 20.00 atau sampai dengan jam 08.00 dan sistem kerja reguler 8 jam per hari, tanpa istirahat mingguan. Hal ini menyebabkan pekerja rata-rata bekerja 24 jam per bulan melebihi ketentuan PP Nomor 35 tahun 2021 yang membatasi jam kerja selama 40 jam per minggu dengan hak istirahat harian dan mingguan.
Namun, alih-alih perusahaan membayar upah lembur sesuai aturan 1,5 kali upah sejam. Untuk jam pertama, dua kali untuk jam berikutnya, pihak perusahaan hanya memberikan insentif kelebihan jam kerja sebesar 35 sampai 40% dari upah pokok dan tunjangan tetap perhitungan ini sejauh lebih rendah daripada standar hukum, sehingga buruh kehilangan hak atas upah lembur yang layak.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Serikat dan pengawas Ketenagakerjaan dengan total kekurangan upah lembur bagi 20 buruh mencapai lebih kurang sebesar 983 juta. Selain itu gaji pokok tahun 2025 hanya 3.500.000 lebih rendah dari UMP Sulsel 2025 sebesar Rp 3.000.000 - Rp 657.527 hingga menimbulkan kekurangan tambahan sebesar Rp.157.527 per orang per bulan.
Peserta aksi buruh melakukan aksi damai selama 6 hari pada bulan Juli 2025 yang menuntut pembayaran hak lembur dan kejelasan status kerja perundingan. Trans Parit menghasilkan perjanjian bersama terkait opsi PHK atau di rumahkan, namun tidak mencakup perselisihan upah lembur mediator dinas Ketenagakerjaan yang menegaskan, hanya mengatur PHK.
Pada Bulan Maret - Mei 2025 pengawas Ketenagakerjaan Sulsel telah memeriksa laporan buruh dan menerbitkan penetapan resmi yang mewajibkan perusahaan membayar kekurangan upah lembur. Namun pihak perusahaan mengabaikan perintah tersebut.
1. Perjanjian bersama melarang tuntutan di kemudian hari;
2. Kesepakatan insentif 40%;
3. Perhitungan pengawas tidak konfirmasi ke perusahaan gugatan ini dinilai sebagai bentuk judicial aransemen untuk menekan buruh dan menghalangi perjuangan hak normatif mereka.
Adapun peserta aksi menuntut, yakni pada pokoknya terkait pelanggaran hak normatif buruh berupa;
1. Sistem kerja eksploitatif 12 jam tanpa istirahat;
2. Pembayaran upah lembur di bawah standar hukum;
3. Upah pokok di bawah UMP 4 pengabaian penetapan pengawas ketenagakerjaan 5 penggunaan gugatan hukum sebagai alat intimidasi.
Dengan demikian peserta aksi menuntut atas perkara ini, penegasan PHI terhadap perlindungan hukum pekerja dan melarang praktek kerja paksa serta perbudakan modern di industri simelter.
( Tim Red )